Menyudahi salah kaprah
tentang penyedap rasa
Malang nian nasib micin alias monosodium glutamat (MSG). Kekhawatiran akan dampak negatifnya kian meningkat seiring tingginya kesadaran hidup sehat.
Penyedap rasa itu kini dituding sebagai penyebab menurunnya kemampuan bernalar anak muda Indonesia.
Bahkan, kini muncul istilah "Generasi Micin". Sebuah cap kealpaan atau ketidakmampuan berpikir jernih.
Tapi, apa benar MSG memiliki kandungan yang berpengaruh pada kinerja otak? Apakah memang benar micin membuat generasi muda Indonesia jadi bego?
Ilmuwan Jepang, Ikeda Kikunae, menemukan Monosodium Glutamate (MSG) atau micin pada 1908. Ia mematenkan MSG dan mempopulerkan rasa kelima: umami atau "lezat".
Penemu micin
Pada 1909, Ikeda bekerja sama dengan Suzuki Chemical Company yang memasarkan MSG dengan merek Aji-No-Moto. MSG kemudian menyebar ke seluruh Asia seiring kolonialisme Jepang. Dua merek MSG pertama di Indonesia adalah Sasa dan Aji-No-Moto.
Tak hanya nama, micin yang awalnya berbentuk serbuk putih, kini dipasarkan dengan berbagai rupa. Para produsen berlomba melakukan diversifikasi untuk menjaring konsumen.
Mitos mengenai micin yang membuat bodoh muncul saat seorang dokter Amerika, Ho Man Kwok, menulis sebuah jurnal pada 1968. Ia merasa lemas dan sakit kepala usai makan di restoran Mandarin. Dari sini muncul Chinese Restaurant Syndrom.
Pandangan negatif terhadap micin juga muncul dari penelitian John W. Olney pada 1969. Pakar gizi di Washington University School of Medicine itu menemukan kerusakan fungsi otak pada tikus yang terpapar MSG dosis tinggi. Tikus itu pun mengalami obesitas dan mandul.
Namun, penelitian ini ditentang International Food Information Council Foundation. Selain dosisnya tidak mewakili konsumsi MSG manusia, metode suntikan juga dipermasalahkan. Sebab, manusia mengonsumsi MSG lewat mulut bukan melalui suntikan kulit
Bahan dasar (tetes tebu atau tapioka)
dicampurkan dengan sodium hydroxide yang kemudian menjadi monosodium glutamate (MSG)
Mengandung Glutamic acid dan sodium hydroxide
Ahli gizi Universitas Ciputra
"Walaupun MSG tidak membuat masalah untuk sebagian besar orang, tapi itu juga tidak ada untung dari segi gizi. Terlalu banyak natrium (sodium) bisa meningkatkan risiko darah tinggi."
Ahli Gizi Institut Pertanian Bogor
"Menurut WHO, vetsin atau micin itu aman. Asal tak melebihi batas maksimal. Jadi, anggapan bahwa micin bisa menurunkan kecerdasan adalah sebuah salah kaprah"
Kepala Pusat Studi Pangan & Gizi Universitas Gadjah Mada
"Konsumen tak perlu khawatir dengan penggunaan MSG dalam takaran wajar. Sebaliknya, sugesti bahwa jumlah micin sebanding dengan kelezatan makanan juga harus dihilangkan"
Ahli gizi RS Pondok Indah, Jakarta
"Aman, asal sesuai takaran. Tapi memang MSG cenderung membuat lebih cepat lapar. Kadar MSG berlebih dalam tubuh juga membuat kita kekurangan mikronutrien seperti vitamin C dan E, magnesium, krom, dan zinc."
Ada sebuah hipotesis bahwa MSG berlebih mempengaruhi kemampuan berpikir. Namun, riset John Fernstrom, dari University of Pitssburgh, mematahkannya.
Menurutnya, reseptor glutamat di otak berbeda dengan penerima rangsangan di lidah. Sehingga kadar glutamat dari sistem pencernaan tidak bertumpuk di otak. Agar tak salah, pahami batasannya.
Batas konsumsi yang disarankan bagi orang dewasa adalah kurang dari 120 mg/kg berat badan per hari atau sekitar 7 gram. Sementara bayi tidak dianjurkan mengonsumsi MSG.
Otoritas Keamanan Makanan Eropa (EFSA) menganjurkan konsumsi harian wajar sebesar 30 mg/kg berat badan dalam sehari.
Badan POM Amerika Serikat mengklasifikasikan MSG sebagai bahan aman dikonsumsi. Micin sama amannya dengan gula, baking soda, dan cuka.
Sebetulnya, rasa umami yang dihasilkan asam glutamat secara alami terdapat dalam banyak jenis makanan
Sempat jadi idola, kini micin jadi pesakitan. Bubuk putih ajaib ini dituding sebagai dalang menurunnya daya nalar generasi muda.
Memang tak ada anjuran makan micin. Namun, menjadikan micin sebagai kambing hitam juga berlebih. Justru, jika dikonsumsi dalam batas wajar, micin bisa menjadi sahabat di meja makan.
Editor
Research and Text
Research and Text
Graphic Designer
Illustrator
UI Designer
Web Developer